Pura Luhur
Uluwatu
Pura
Luhur Uluwatu adalah pura Hindu yang terletak di sisi bebatuan karangdi bagian
selatan semenanjung Bali. Pura ini adalah salah satu dari Pura Sad Kahyangan (6
Pura Induk di Bali), terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung, sekitar 25 KM selatan Denpasar, terletak di atas batu karang yang
menjorok ke laut, pada ketinggian sekitar 80 meter dari permukaan laut. Pura
ini dikelilingi oleh hutan kecil tandus yang lebih umum disebut Alas Kekeran (Hutan Larangan)
yang dimiliki oleh Pura dan dihuni oleh banyak kera serta binatang-binatang
lain.
Nama
Uluwatu berasal dari kata Ulu berarti
kepala, dan Watu berarti
batu. Oleh karena itu, Pura Uluwatu berarti pura yang dibangun di puncak batu
karang.
Sejarah Pura Uluwatu
Sebelah kanan
dan kiri bangunan Pura atau Pelinggih
Ida Bagus Jurit yang terletak di kompleks Pura Uluwatu,
terdapat dua palungan batu yang menyerupai kapal. Ketika keduanya disatukan,
maka bentuknya menyerupai sarcophagus,
peti mati batu yang terkenal peninggalan jaman Megalithikum (zaman batu besar).
Ada sebuah peninggalan purbakala yang berasal dari abad ke-16, yakni gerbang
masuk yang berbentuk lengkung atau bersayap. Gerbang bersayap ini adalah
peninggalan purbakala yang tidak lazim. Masa pembuatan gerbang bersayap yang
ada di Pura Uluwatu dapat dibandingkan dengan masa yang sama pada kompleks
masjid di Desa Sendangduwur, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Masa pembuatannya
sesuai dengan tahun Candrasengala yang
ditemukan pada pahatan dalam masjid, yang berbunyi Gunaning Salira Tirta Hayu, yang berarti tahun Saka
1483 atau 1561 Masehi.
Apabila sarcophagus yang berada area Dalem Jurit menggambarkan
artefak, maka Pura Uluwatu melukiskan tempat yang disucikan sejak jaman
peradaban megalitikum (sekitar tahun 500 SM). Dalam lontar Usana Bali menyebutkan bahwa
Mpu Kuturan (seorang paderi yang menyebarkan agama Hindu ke Bali) membangun
banyak pura di pulau ini dan salah satunya adalah Pura Uluwatu. Dalam lontar Dwijendra Tattwa diuraikan
bahwa Mpu Kuturan mengunjungi Bali dua kali, yakni:
- Kedatangan pertama saat beliau melakukan Tirta Yatra (ziarah ke tempat suci). Saat Beliau tiba di Uluwatu, hatinya bergetar dan beliau mendengar bisikan bahwa tempat tersebut bagus untuk sembahyang. Pada saat itu, Beliau memilih tempat tersebut untuk ngeluwur (melepas sukma/mati untuk kembali kepada kesejatian diri atau moksa). Lalu berdasarkan pertimbangan, beliau meniatkan untuk membangun Parahyangan atau memperluas bangunan Pura Uluwatu dari sebelumnya. Ketika Mpu Kuturan memperluas bangunan pura, beliau juga membangun penginapan sebagai tempat tinggal. Bagunan penginapan tersebut saat ini digunakan oleh masyarakat lokal sebagai tempat suci yang diberi-nama Pura Bukit Gong. Bangunan pura atau Parahyangan di Pura Uluwatu diselesaikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-16 setelah beliau diangkat menjadi Purohita (pendeta penasehat raja) dari Raja Dalem Waturenggong, yang memerintah pada tahun 1460-1552.
- Mpu Kuturan pada kedatangan beliau yang kedua mencapai Moksa, yakni hari Selasa, Kliwon Medangsya (istilah dalam kalender Bali). Saksi mata dalam peristiwa tersebut adalah seorang nelayan yang bernama Ki Pasek Nambangan. Ia melihatnya cahaya yang sangat terang melesat ke angkasa yang disebut Ngeluwur.
Tersirat dalam Lontar
Padma Bhuwana bahwa Pura Uluwatu terletak menghadap ke barat daya,
ditujukan untuk memuja Dewa Rudra, salah satu dari Dewa dalam Sembilan Dewa (Dewata
Nawa Sanga). Dewa Rudra adalah Dewa Siwa sebagai Pemralina atau
Muara Sejati. Dalam lontar ini juga disebutkan bahwa Pura Uluwatu di Alam
Kahyangan dipuja oleh seluruh umat Hindu. Sejak dibuka untuk umum, Pura ini
dikunjungi oleh banyak orang dari seluruh dunia karena pemandangannya yang
menawan, matahari tenggelam, latar belakang Samudera Hindia yang menakjubkan
serta tebing karang yang curam. Sungguh tempat yang sempurna untuk dikunjungi
di Bali.
Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa
Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam
pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan
sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan
dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak
umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk
memohon karunia menata kehidupan di bumi ini.
Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu
terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma
memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari
Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini.
Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati,
Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.
Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma
Dewa Pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Pura ini
salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma
Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura
Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan
Pura Pusering Jagat.
Berhubung banyak lontar yang
menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut Hindu Dharma
(sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat mengadakan
penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan
menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar tersebut
dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada adanya
pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.
Candi tersebut sama dengan candi
masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di candi Pura
Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu
dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini
menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam
Lontar Kusuma Dewa sangat tepat.
Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan
juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu
Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap seperti di Pura Luhur Uluwatu
terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat
pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur
Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana.
Sebagai pura yang didirikan dengan
konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad
Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu
Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai pura yang
didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu didirikan
sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra
adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.
Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah
beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat mengatakan bahwa di
Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga
Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena
itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara
dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering
khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu.
Salah satu ciri hidup yang ideal
menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut
diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan
sesuatu yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan
sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu
menghadang.
Dalam menghadapi berbagai kesukaran
itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan mental yang
tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental itu salah
satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk
menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai
Dewa Brahma.
Untuk memiliki ketetapan hati
memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk menghilangkan sesuatu
yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi
spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang
dipuja di Pura Luhur Uluwatu.
Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura
Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah
tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja
di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura
Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan
Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi.
Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga
patung yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem Jurit dan Wisnu. Ratu Bagus
Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja.
Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan
sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem
pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan
di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang
juga masih sederhana saat itu.
Pura Luhur Uluwatu juga memiliki
beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura Prasanak tersebut antara lain
Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura Dalem
Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua
Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa
Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak.
* I Ketut Gobyah
|
Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan
dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan.
Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad
Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura
Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai Pura Padma Bhuwana yang berada di
arah barat daya Pulau Bali.
Arah barat daya itu dalam sistem
pengider-ider Hindu Sekte Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep
Siwa Sidhanta, Dewa Tri Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan
Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah
perwujudan Maha Wisnu.
Dalam Rgveda I, 164. 46 dinyatakan
bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau orang-orang suci menyebutnya dengan
banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu adalah Pura Kahyangan Jagat yang
didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan konsepsi Padma Bhuwana.
Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa wisesa dari Dewa Tri
Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya berdasarkan Tri Kona
yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan.
Kreatif memelihara dan melindungi
sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Demikian juga melakukan
upaya pralina pada sesuatu yang seyogianya dipralina. Siapa pun yang dapat
hidup seimbang berbuat berdasarkan konsep Tri Kona itu dialah orang yang
hebat karena sukses dalam hidupnya. Karena itulah Tuhan di Pura Luhur Uluwatu
dipuja sebagai Dewa Siwa Rudra. Kata Rudra dalam bahasa Sansekerta artinya
hebat atau bergairah.
Keberadaan Pura Luhur Uluwatu ini
sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra Dang Hyang Dwijendra.
Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur Uluwatu sebagai
pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga terkait menjadi
energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang Tiga.
Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di Pura
Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu
saja.
Di sebelah kiri sebelum masuk pintu
Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem Jurit.
Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan
tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura tersebut abad
ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk melalui Candi Bentar.
Di jaba tengah ini kita menoleh ke
kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering
sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab,
di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang
mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu.
Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut.
Dari jaba tengah ini kita terus masuk
melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat
pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang
ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung
bersayap seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur
dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa
Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun
Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di
Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu.
Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu
Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad
XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu.
Setelah kita masuk ke jeroan (bagian
dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga
tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah bangunan
pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan
tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis hari
besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau
setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku.
Pura Luhur Uluwatu memiliki wilayah
suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah
Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah
melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua
pihak menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada
bangunan yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu.
Wilayah kekeran itu hendaknya dijaga
agar tetap hijau dengan tumbuh-tumbuhan yang khas Bali. Boleh dikreasi
sepanjang untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan hutan dengan tanem tuwuh-nya,
sehingga wilayah kekeran itu benar-benar asri dan juga suci tidak dijadikan
pengembangan pasilitas yang lainnya. Lebih-lebih berdasarkan Bhisama Kesucian
Pura di Pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Uluwatu ini harus dijaga
tidak boleh ada bangunan di luar fasilitas pura dengan radius apeneleng --
sekitar lima kilometer -- harus steril dari bangunan yang tidak ada
hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu.
|
Om Swastiastu
BalasHapusDumogi keberadaan Pura Uluwatu tetap terjaga kelestariannya, baik bangunan suci pelinggih-pelinggih yang ada, maupun penyungsung dan pengempon khususnya dan Umat Hindu Bali pada umumnya. Semeton sareng sami dumogi selalu mendapatkan waranugraha saking Ida Hyang Parama Kawi. Astungkara ...