Halaman

Jumat, 18 Januari 2013

Sejarah Pura Uluwatu


Pura Luhur Uluwatu
 

Uluwatu_Head

Pura Luhur Uluwatu adalah pura Hindu yang terletak di sisi bebatuan karangdi bagian selatan semenanjung Bali. Pura ini adalah salah satu dari Pura Sad Kahyangan (6 Pura Induk di Bali), terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, sekitar 25 KM selatan Denpasar, terletak di atas batu karang yang menjorok ke laut, pada ketinggian sekitar 80 meter dari permukaan laut. Pura ini dikelilingi oleh hutan kecil tandus yang lebih umum disebut Alas Kekeran (Hutan Larangan) yang dimiliki oleh Pura dan dihuni oleh banyak kera serta binatang-binatang lain.
Nama Uluwatu berasal dari kata Ulu berarti kepala, dan Watu berarti batu. Oleh karena itu, Pura Uluwatu berarti pura yang dibangun di puncak batu karang.





Uluwatu_04Sejarah Pura Uluwatu

Sebelah kanan dan kiri bangunan Pura atau Pelinggih Ida Bagus Jurit yang terletak di kompleks Pura Uluwatu, terdapat dua palungan batu yang menyerupai kapal. Ketika keduanya disatukan, maka bentuknya menyerupai sarcophagus, peti mati batu yang terkenal peninggalan jaman Megalithikum (zaman batu besar). Ada sebuah peninggalan purbakala yang berasal dari abad ke-16, yakni gerbang masuk yang berbentuk lengkung atau bersayap. Gerbang bersayap ini adalah peninggalan purbakala yang tidak lazim. Masa pembuatan gerbang bersayap yang ada di Pura Uluwatu dapat dibandingkan dengan masa yang sama pada kompleks masjid di Desa Sendangduwur, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Masa pembuatannya sesuai dengan tahun Candrasengala yang ditemukan pada pahatan dalam masjid, yang berbunyi Gunaning Salira Tirta Hayu, yang berarti tahun Saka 1483 atau 1561 Masehi.

Uluwatu_01
Apabila sarcophagus yang berada area Dalem Jurit menggambarkan artefak, maka Pura Uluwatu melukiskan tempat yang disucikan sejak jaman peradaban megalitikum (sekitar tahun 500 SM). Dalam lontar Usana Bali menyebutkan bahwa Mpu Kuturan (seorang paderi yang menyebarkan agama Hindu ke Bali) membangun banyak pura di pulau ini dan salah satunya adalah Pura Uluwatu. Dalam lontar Dwijendra Tattwa diuraikan bahwa Mpu Kuturan mengunjungi Bali dua kali, yakni:


  • Kedatangan pertama saat beliau melakukan Tirta Yatra (ziarah ke tempat suci). Saat Beliau tiba di Uluwatu, hatinya bergetar dan beliau mendengar bisikan bahwa tempat tersebut bagus untuk sembahyang. Pada saat itu, Beliau memilih tempat tersebut untuk ngeluwur (melepas sukma/mati untuk kembali kepada kesejatian diri atau moksa). Lalu berdasarkan pertimbangan, beliau meniatkan untuk membangun Parahyangan atau memperluas bangunan Pura Uluwatu dari sebelumnya. Ketika Mpu Kuturan memperluas bangunan pura, beliau juga membangun penginapan sebagai tempat tinggal. Bagunan penginapan tersebut saat ini digunakan oleh masyarakat lokal sebagai tempat suci yang diberi-nama Pura Bukit Gong. Bangunan pura atau Parahyangan di Pura Uluwatu diselesaikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-16 setelah beliau diangkat menjadi Purohita (pendeta penasehat raja) dari Raja Dalem Waturenggong, yang memerintah pada tahun 1460-1552.
  • Mpu Kuturan pada kedatangan beliau yang kedua mencapai Moksa, yakni hari Selasa, Kliwon Medangsya (istilah dalam kalender Bali). Saksi mata dalam peristiwa tersebut adalah seorang nelayan yang bernama Ki Pasek Nambangan. Ia melihatnya cahaya yang sangat terang melesat ke angkasa yang disebut Ngeluwur.
Tersirat dalam Lontar Padma Bhuwana bahwa Pura Uluwatu terletak menghadap ke barat daya, ditujukan untuk memuja Dewa Rudra, salah satu dari Dewa dalam Sembilan Dewa (Dewata Nawa Sanga). Dewa Rudra adalah Dewa Siwa sebagai Pemralina atau Muara Sejati. Dalam lontar ini juga disebutkan bahwa Pura Uluwatu di Alam Kahyangan dipuja oleh seluruh umat Hindu. Sejak dibuka untuk umum, Pura ini dikunjungi oleh banyak orang dari seluruh dunia karena pemandangannya yang menawan, matahari tenggelam, latar belakang Samudera Hindia yang menakjubkan serta tebing karang yang curam. Sungguh tempat yang sempurna untuk dikunjungi di Bali.



Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi ini.
Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.
Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.
Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.
Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat.
Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana.
Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.
Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat mengatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu.
Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.
Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental itu salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma.
Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu.
Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi.
Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem Jurit dan Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja. Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu.
Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak.
* I Ketut Gobyah

Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai Pura Padma Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali.
Arah barat daya itu dalam sistem pengider-ider Hindu Sekte Siwa Sidhanta adalah Dewa Siwa Rudra. Dalam konsep Siwa Sidhanta, Dewa Tri Murti itu adalah manifestasi Siwa sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi dalam konsep Waisnawa, Tri Murti itu adalah perwujudan Maha Wisnu.
Dalam Rgveda I, 164. 46 dinyatakan bahwa Tuhan itu mahaesa para Wipra atau orang-orang suci menyebutnya dengan banyak nama. Jadinya Pura Luhur Uluwatu itu adalah Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan konsepsi Padma Bhuwana. Sebagai Siwa Rudra berkedudukan untuk membumikan purusa wisesa dari Dewa Tri Murti agar umat tertuntun melakukan dinamika hidupnya berdasarkan Tri Kona yaitu kreatif menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan.
Kreatif memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Demikian juga melakukan upaya pralina pada sesuatu yang seyogianya dipralina. Siapa pun yang dapat hidup seimbang berbuat berdasarkan konsep Tri Kona itu dialah orang yang hebat karena sukses dalam hidupnya. Karena itulah Tuhan di Pura Luhur Uluwatu dipuja sebagai Dewa Siwa Rudra. Kata Rudra dalam bahasa Sansekerta artinya hebat atau bergairah.
Keberadaan Pura Luhur Uluwatu ini sejak abad XVI Masehi ada terkait dengan tirthayatra Dang Hyang Dwijendra. Setelah itu didirikanlah Meru Tumpang Tiga di Pura Luhur Uluwatu sebagai pemujaan Dewa Siwa Rudra di mana aspek Brahma dan Wisnu juga terkait menjadi energi magis religius dalam pemujaan Siwa Rudra di Meru Tumpang Tiga. Meskipun kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperluas tempat pemujaan di Pura Luhur Uluwatu bukan berarti apa yang telah ada harus ditinggalkan begitu saja.
Di sebelah kiri sebelum masuk pintu Candi Bentar tersebut terdapat kompleks pelinggih yang disebut Dalem Jurit. Di Pura Dalem Jurit inilah terdapat tiga patung Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Siwa Rudra ketika Mpu Kuturan mendirikan pura tersebut abad ke-11 Masehi. Dari Dalem Jurit kita terus masuk melalui Candi Bentar.
Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan. Bak air itu dikeramatkan karena keajaibannya itu. Keperluan air untuk bahan tirtha cukup diambil dari bak air tersebut.
Dari jaba tengah ini kita terus masuk melalui Candi Kurung Padu Raksa bersayap. Candi ini ada yang menduga dibuat pada abad ke-11 Masehi karena dihubungkan dengan Candi Kurung bersayap yang ada di Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau tahun 1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu.
Setelah kita masuk ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau sejenis hari besarnya Pura Luhur Uluwatu pada hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia atau setiap 210 hari berdasarkan perhitungan kalender Wuku.
Pura Luhur Uluwatu memiliki wilayah suci dalam radius kurang lebih lima kilometer. Wilayah ini disebut wilayah Kekeran, artinya wilayah yang suci. Yang patut kita perhatikan adalah melindungi wilayah yang disebut sebagai wilayah kekeran. Hendaknya semua pihak menghormati wilayah kekeran tersebut untuk menjaga agar jangan ada bangunan yang tidak terkait dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu itu.
Wilayah kekeran itu hendaknya dijaga agar tetap hijau dengan tumbuh-tumbuhan yang khas Bali. Boleh dikreasi sepanjang untuk mengembangkan tumbuh-tumbuhan hutan dengan tanem tuwuh-nya, sehingga wilayah kekeran itu benar-benar asri dan juga suci tidak dijadikan pengembangan pasilitas yang lainnya. Lebih-lebih berdasarkan Bhisama Kesucian Pura di Pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Uluwatu ini harus dijaga tidak boleh ada bangunan di luar fasilitas pura dengan radius apeneleng -- sekitar lima kilometer -- harus steril dari bangunan yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu.




1 komentar:

  1. Om Swastiastu

    Dumogi keberadaan Pura Uluwatu tetap terjaga kelestariannya, baik bangunan suci pelinggih-pelinggih yang ada, maupun penyungsung dan pengempon khususnya dan Umat Hindu Bali pada umumnya. Semeton sareng sami dumogi selalu mendapatkan waranugraha saking Ida Hyang Parama Kawi. Astungkara ...

    BalasHapus